Saturday 26 January 2019

Ia, Melaka

Berkunjung ke tempat yang sama berulang kali, bisa jadi adalah hal yang membosankan. Bagi sebagian orang mungkin demikian, namun bagi sebagian yang lain mungkin melihat sebagai sebuah upaya untuk mengetahui tempat itu lebih dalam. Menyelami tempat-tempat yang terlewat ketika kunjugan pertama, atau menghabiskan waktu bersama orang yang berbeda di tempat yang sama.
Adalah Melaka, salah satu kota di negara bagian Malaysia yang saya kunjungi dua kali, yang pertama di tahun 2014 dan kembali lagi pada tahun 2018. Empat tahun, atau tepatnya tiga setengah tahun setelah kunjungan yang pertama, saya kembali lagi. Bukan tanpa alasan, jika tidak mau dibilang kebetulan, karena kunjungan ke Melaka pada tahun 2014 dan 2018 memiliki alasan yang sama, yakni menghadiri konferensi dimana di sana saya menjadi salah satu pembicara panel.


Berkunjung ke Melaka, kita akan dengan mudah menyeberang, bahkan dipersilahkan untuk menyebrang duluan, no klakson, no muka masam.

Jika pada tahun 2014 silam, saya harus merengek pada kakak-kakak yang berkuliah di USIM untuk mengantar berkunjung ke Melaka, berbeda dengan tahun 2018, dimana saya sudah berani untuk merencanakan kunjungan dan memperkirakan apa saja yang bsa dilakukan di Melaka. Berbekal peta wisata, dan pengetahuan di tahun 2014, dengan berani merencanakan sebuah perjalanan untuk kembali menyelami kota indah nan berbudaya ini. Kenapa indah? Selain dipenuhi dengan arsitektur khas Eropa Melaka juga merupakan salah satu kota yang menurut saya tertata baik dengan tanaman yang tumbuh lebat dan rindang. Mengapa berbudaya? Sikap masyarakatnya yang menjunjung tinggi toleransi dan keinginan untuk memuliakan orang lain adalah alasan yang dapat digunakan untuk mengulang kunjungan di tahun-tahun mendatang.
Ah, Melaka.
Mungkin Ibu kelak akan menamai mu dengan nama ini, Nak!
Salah satu landmark Kota Melaka adalah kincir angin khas Belanda ini.

No comments:

Post a Comment